Saturday, April 23, 2016

Hampir Berpisah Selamanya


            Suasana riuh malam itu masih teringat di pikiranku saat ini, saat dimana semua teman-teman ku waktu SMA berkumpul di suatu rumah besar kosong milik teman saya. Waktu SMA saya mempunyai gank yang dinamai “Sosial Bersatu”, merekalah yang selalu mewarnai masa-masa SMA saya mulai dari yang negative atupun positif. Dinamai "Sosial bersatu” karena memang isinya siswa-siswa yang jurusan IPS dari berbagai kelas. Sosial bersatu sudah biasa berkumpul disana untuk sekedar nongkrong biasa ataupun ada kegiatan yang serius. Kami biasa menyebut tempat itu “Kidut House” karena memang yang punya itu bernama panggilan Kidut. Tanpa dikoordinir, mereka berkumpul di “kidut house” mulai sore hari. Jam demi jam telah berlalu, tibalah tepat pukul 9 malam hari itu. Jam 9 hari itu adalah waktu pengumuman kelulusan yang diberitahukan pihak sekolah melalui website resminya. Siswa harus memasukkan nomor induk untuk melihat hasil kelulusannya. Saat itu, smartphone dan laptop sudah berada di genggaman untuk melihat hasil kelulusannya. Ku lihat pula wajah teman-teman yang lain. Sepertinya merekapun deg-degan dan adapula yang mulutnya komat-kamit berdoa. Dan akhirnya setelah dicek satu persatu “Sosial bersatu” lulus 100%, semua teriak dan melompat kegirangan sampai sampai ditegur tetangga sebelah. Tak lama setelah itu, baru datang si Odank pengen tau tentang lulus atau tidaknya dia. Lalu Odank menghampiriku.
“Sorry baru dateng nih abis dari bengkel, ehh gimana, udah bisa diliat ga di internet, gue liat dong”, kata Odank
“ Udah lah dank udah seneng begini semuanya lu liat, yakin mau liat dank ? gua tsayat lu gak lulus sendiri nih, hahaha.”, jawab saya
“Jangan gitu dong woyy, lu semua lulus pokooknya gue harus lulus juga lah.”
“Yaudah cek aja dulu nih tinggal masukn nomer induk lo”
Lalu Odank pun mengecek hasil kelulusannya
“Yeaaaayyy, gue lulus kan, semuanya kan lulus nih, gimana kalo kita liburan ke jogja minggu depan?” kata Odank
“Cakep tuh, ayo ikut gue, gimana yang laen ?”, ucap Kidut
“Yuk ah itung itung perpisahan, kan nanti misah-misah ada yang kuliah di Malang,Solo,Semarang,Jogja. Susah lagi ngatur ketemunya ga kaya sekarang, ga usah diatur pasti kumpul.”, Ucap Deny
“Yaudah yuk udah gue cek harga tiket kereta 100 ribu pergi pulang, bisa mesen di Indomaret.”, Jawab saya.
Setelah dikoodirnir uangnya, kami pun bergegas ke Indomaret untuk membeli tiket KA. Dengan menyerahkan KTP dan sejumlah uang, akhirnya kami mendapatkan tiket KA Progo jurusan Pasar Senen-Lempuyangan untuk  8 orang untuk minggu depan.
Seminggu kemudian, waktu liburan pun tiba. Karena kereta berangkat pukul 10 malam, maka kami janjian melalui grup BBM untuk berkumpul di halte busway jam 7 malam. Karena rumah kami tidak saling berdekatan maka dipilihlah halte busway Pasar Rebo. Saya datang kesana tepat jam 7 malam dan hanya ada Wahyu dan Supri yang menunggu.
“Yang lain dimana way, pri ?”, Tanya saya
“si Brian lagi ke ATM dulu di sebrang, kalo yang lain lagi di jalan kali”, jawab Supri
“yaah ngaret banget, jam 10 berangkat nihh.”
1 jam berlalu, barulah terkumpul semua. Keterlambatan ini membuat jadwal berantakan. Kami harus buru-buru mendapatkan kursi Busway. Sudah terlambat, terjebak macet pula itulah yang kami rasakan saat hendak pergi ke stasiun. Waktu menunjukan pukul 9 lewat 15 malam dan kami masih transit di Kampung Melayu.
“Waduh gimana nih keburu gak?”, Tanya Deny
“Gak keburu kayanya kalo naik Busway, nunggunya aja lama belum nanti dijalan”, kata Kidut
“Sewa Angkot langsung ke stasiun aja mendingan, nanti kan bisa lewat jalan tikus lebih cepat”, usul Ijat
“Ide bagus tuh”, kata Saya
Karena keadaan tidak memungkinkan, kami pun memutuskan untuk menyewa angkot langsung menuju ke stasiun dari rencana awal yang naik Busway hingga stasiun. Alhamdulilllah kami tiba di stasiun pukul 9 lewat 50 malam. Kami langsung bergegas menuju seat kereta kami. Disana, kami duduk berderet sehingga kami menikmati perjalanan dengan bercanda-canda. Kalau ada yang tidur, pasti dikerjai oleh teman-teman. Mungkin itu gerbong paling berisik diantara gerbong lainnya. Kurang lebih 11 jam perjalanan, tibalah di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sebenarnya, kereta itu tidak transit di Tugu tapi langsung ke Lempuyangan. Karena ada silang jalur antar kereta maka kereta yang kami tumpangi disuruh berhenti. Kami pun memanfaatkan keuntungan tersebut karena stasiun Tugu lebih dekat dengan losmen yang mau kami tumpangi yang terletak di jl.Sosrowijayan, Malioboro.
Dengan berjalan kaki, sampailah di jl.Sosrowijayan di mana di sini terdapat penginapan-penginapan dengan harga terjangkau. Kami menginap di Betty Losmen dengan menyewa kamar ukuran besar untuk 3 hari 2 malam. Disana kami istirahat dulu, lalu sore hari dilanjutkan untuk berkeliling Malioboro. Sesampainya di losmen kami berbincang sambil main gitar untuk rencana esok hari.
“Ada rencana ga besok pergi kemana.”, Tanya saya
“tadi bilang pada mau ke pantai.” Jawab Odank
“pantai mana ?”Tanya Brian
“Parang Tritis boleh tuh bisa naik Trans Yogya”, kata Deny
“Jangan Parang Tritis, udah mainstream udah tercemar juga”. Ucap Wahyu
“Pasirnya item pula, searching aja coba dulu”ujar Kidut
Usai searching kami mendapat referensi tempat
“Pantai Baron nih bagus banget masih sepi” kata Supri
“Iya nih nemu juga, tapi akses kesana sulit ga ada kendaraan umum”, ujar saya
“Sewa mobil aja, gua sama Deni yang nyetir kalem”, kata Ijat
“Oke fix jangan kebanyakan ngomong, kita langsung sewa mobil buat besok”,kata Kidut
Kidut dan Febrian langsung bergegas ke tempat sewa mobil .Lalu, didaptila 1 unit mobil APV seharga 400 ribu sehari .
Esoknya pukul 9 pagi, kami berangkat dari losmen untuk ke pantai Baron yang terletak di bawah Gunung Kidul. Memanfaatkan GPS dan bertanya-tanya kami pede saja untuk kesana, walaupun belum ada yang pernah kesana. Akses kesana cukup sulit, disana kita akan menemukan tanjakan/turunan terjal, jalan sempit berlubang dan jalan berkelok-kelok. Pukul 11 kami sampai di pantai Baron. Wow, kita disambut hamparan pasir putih dengan laut biru muda, tebing tinggi yang berada di sisi kiri dan kanan dan perahu-perrahu nelayan yang bersandar. Sungguh pemandangan alam yang tidak biasa, rasanya ingin langsung berenang saja. Disana ada tanda larangan untuk berenang di pantai, tapi kami melihat masih banyak orang yang berenang. Jadi kami menyimpulkan bahwa aman aman saja untuk berenang disana. Tanpa disuruh, satu per satu pada turun berenang di pantai, hanya Odank dan Kidut yang tidak mau renang dengan alasan tsayat item. Karena dibujuk secara halus tidak mau, Saya,Ijat,Brian,Deny,Ijat,Supri pun memaksa mereka berdua dengan menceburkannya ke pantai. Mereka keliatan tidak terima lalu memilih naik ke pasir lagi dan makan ikan bakar di warung dekat pantai. Kami bermain bola volli disana, masih di pinggir-pinggir pantai.
Karena mengikuti arah bola, tak terasa sudah semakin jauh dari bibir pantai. Hingga petaka itupun tiba, Ijat terlalu jauh memukul bola sehingga bola ada di tengah pantai. Deni dengan inisiatif sendiri mengambil bola itu tetapi sesudah mengambil Deny diam di tempat sambil mengangkat tangan dan teriak. Saya dan teman kira dia hanya bercanda, tetapi semakin lama semakin kencang teriakannya.
“Woyyy, tolongin gue cepet, kaki gua ga bisa bergerak!!!.” Teriak Deni
Lalu Ijat menghampiri Deni dan merangkulnya. Saya kira kejadian sudah selesai, tetapi Ijat malang mengangkat tangan dan berteriak juga. Kami pun langsung bergegas menghampiri untuk menolongnya. Ku kira akan berhasil malah petaka kedua menhampiri, kami semua terjebak di tengah pantai dan tidak bisa bergerak ke bibir pantai. Walaupun, kaki sudah berjalan sekuat tenaga tetapi tidak ada tempat pijakan karena pasirnya tergerus. Dan mencoba untuk berenang sekuat tenaga tidak bisa juga karena tertahan arus pusaran ombak. Perjuangan antara hidup dan mati. Berusaha mencari pertolongan walau dengan melambaikan tangan ke pengunjung lain dan nelayan di sekitar. Terlihat jauh dan sangat susah dijangkau. Akankah ini perpisahan untuk selama lamanya? Tidak ada yg tahu. Ya Tuhan tolong selamatkan kami. Kami tak ingin merenggang nyawa di sini. Saya melihat raut wajah teman-teman saya seperti putus asa dan pasrah. Hanya saja harapan itu selalu ada. Tak lama berselang beberapa nelayan datang membawa pelampung dan perahu kecil.
“Ayo kalian pegangan satu per satu. Jangan sampai terlepas,”seru seorang nelayan.
Dengan sisa tenaga yang ada, semua berusaha menggapai para nelayan. Menumpuk harapan untuk segera kembali ke darat. Berkumpul teman serombongan. Bisa selamat dan melihat bibir pantai itu dan tidak jadi berpisah selamanya itu lebih dari cukup. Kabur dari tempat yang tidak ingin untuk kembali lagi  . Terombang ambing di tengah laut seperti ini sungguh mensayatkan. Mungkin beginilah rasanya para penumpang kapal yang tenggelam itu. Ingin meminta pertolongan tapi entah kepada siapa. Seperti ada yang menyeret kita semakin ke dalam. Tak ada tempat berpijak. Sedangkan untuk tetap bisa menggambang butuh perjuangan.
Kata bapak nelayan “di Pantai Baron ini terdapat palung dan sungai air tawar yang mengalir dari barat ke timur. Kalau nggak hati-hati kita bisa terseret. Kalian itu tadi nginjek pusaran sungainya jadi susah bergerak, ditambah lagi anginnya lagi kenceng.”
Sesampainya kami di bibir pantai kami pun dibawa ke suatu bangunan mirip pendopo desa disana sudah menunggu Kidut dan Odank yang tidak ikut berenang.
“Nih kalo mau liat yang tenggelam, jangan lupa bersyukur, jangan sampai foto kalian masuk sini”, kata  Bapak Nelayan sambal menunjuk ke sebuah mading.


Saya pun penasaran dengan mading tersebut, alangkah terkejutnya saya setelah melihat mading itu. Mading itu berisi foto-foto korban tenggelam yang ditemukan meninggal. Kebanyakan sudah tidak berbentuk, menggelembung dan susah dikenali. Hiiii…bulu kudukku merinding seketika, hampir tak percaya bahwa kami adalah salah satu dari mereka yang hampir tenggelam. Terima kasih ya Allah, terima kasih telah memberi kesempatan untuk menghirup udara kembali. Serasa ada beban terangkat. Plong!
“Minum air putih dulu, kalian udah terlalu banyak minum air laut,” ujar  Bapak Cipto seorang Nelayang tadi menyodorkan sebotol air putih. Kami sibuk menegak air putih dan pak Cipto bertanya. “Kalian gimana ceritanya bisa tenggelam tadi?”
“Tadi kita awalnya hanya bermain bola voli di pinggir pinggir pantai. Gak sadar, tau tau udah semakin jauh dari bibir pantai. Terus ada yang mukul bola terlalu kencang sehingga lumayan ke tengah.  Pas ngambil bola, tiba tiba dia teriak minta tolong, otomatis pada nolongin ehh malah semuanya kejebak,”  ujar saya menerangkan kronologis kejadian tadi.
“Tadi saya berteriak sekuat tenaga, pak. Untung suarsaya terdengar. Makasih banyak ya pak,” Ujar Deni
 “Untung saya denger teriakan kalian. Saya sampai panik dan mikirin yang enggak-enggak” kata pak Cipto
Kami berempat menoleh ke arah yang ditunjuk Mbak Rien. Tak hentinya mengucapkan ribuan syukur. Kami masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup. Kupandang hamparan laut biru. Tenang, begitu tenang. Tak ada gelombang sama sekali. Ketenangan itulah yang hampir merenggut nyawa kami. Lalu, kami bergegas untuk balik ke losmen, suasana hening tergambar dalam perjalanan tersebut kebanyakan pada langsung tidur.

Keesokan harinya merupakan waktu kami untuk pulang ke Jakarta, kami sudah mulai melupakan kejadian kemarin dan kembali bersenda gurau. Pukul 11 siang kami berangkat dari stasiun Lempuyangan. Sebelum menuju ke stasiun, kami menempelkan secarik kertas di kamar losmen yang berisi “Terima kasih Jogja, hari ini kami pulang, Terima kasih atas alammu yang begitu indah dan menawan. Terima kasih telah mengajarkan kami untuk taat aturan akan tanda bahaya. Terima kasih atas kebaikan dan keramahan masyarakatmu. Berkat kebaikan masyarakatmu, Sosial Bersatu tidak berpisah selamanya. Kenangan ini kan kami ingat selalu. Semoga kami bisa berkunjung kembali ke alam mu, Jogja Istimewa”

No comments:

Post a Comment